Dikala publik sebagian bulan yang lalu disibukkan dengan kasus Rancangan Undang-Undang Peniadaan Kekerasan Seksual (RUU PKS), karenanya agaknya aku semestinya keluar dari informasi hal yang demikian. Di sini aku tak menyoroti perihal adanya RUU PKS yang belum dilegalkan juga sebab menuai pro kontra, tetapi aku lebih konsentrasi kepada pelacuran atau awam diketahui praktik prostitusi, yang sekarang masih diperhatikan sebelah mata oleh masyarakat Indonesia.

Di Indonesia sendiri, menjadi pelacur atau pekerja seks komersial (PSK) dievaluasi ialah perbuatan yang melanggar etika dan kesusilaan yang berlaku di masyarakat. Tidak dapat dikesampingkan bahwa Indonesia masih mengontrol teguh poin-poin agama dan etika sosial yang berlaku. Apalagi bet 10 mengacu pada pengertian asusila berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V) ialah tak bagus tingkah lakunya.

Persepsi dan kedudukan prostitusi atau memilih pekerjaan pelacur ialah hal yang benar-benar aib, dosa, dan zina yang tak dapat ditolenrasi. Pada kenyataannya ajaran agama manapun mengatakan bahwa pelacuran ialah tindakan dosa yang benar-benar besar. Itulah yang membikin pelacur saat dihadapkan dengan aturan agama, mereka tetaplah menjadi kaum yang berdosa.

Tetapi, ini tak serta-merta bahwa aturan agama niscaya menjadi landasan dari hal hal yang demikian. Masyarakat sepatutnya lebih membuka pikiran dan lebih menyelam ke dalam. Bahwasanya memilih menjadi pelacur ialah suatu profesi dan wujud ekspresi kebebasan individu kepada tubuhnya, apalagi tak ada undang-undang yang memegang hal hal yang demikian.

Patut dipahami pula, kenapa banyak perempuan yang memilih pekerjaan pelacur? tak lain dikarenakan unsur ekonomi yang rendah, tak adanya keterampilan khusus yang memadai, dan kurangnya lapangan profesi dengan tingkat pendapatan sesuai, sehingga mereka memilih untuk menjajakan tubuh mereka demi penghasilan.

Kecuali itu, perempuan mempunyai hak penuh atas tubuhnya. Sama halnya saat kita memperhatikan perempuan membikin tatto di segala tubuhnya atau menindik hidung, alat pendengar, lidah, dan bibir dengan benda logam secara permanen atau semipermanen.

Dikabarkan dari The New York Times yang berjudul ‘Should be prostitution be resmi?’, dikatakan bahwa menempatkan pelacur sebagai perbuatan kezaliman dan bukan sebagai profesi ialah salah satu wujud pencideraan atas hak perempuan untuk memilih profesi dan pengabaian kepada keperluan dan perlindungan sebagai pekerja.

Ini menegaskan bahwa pelacur sepenuhnya bukanlah perbuatan asusila. Dikala kita membikin batasan kepada pelacur dan prostitusi, ini sama saja kita menekan asas kebebasan perempuan dalam memastikan jalan hidup dan jati dirinya. Secara simpelnya sama saja kita melarang perempuan untuk mencari ilmu, berkarir, dan mengekspresikan diri bagus di dalam ataupun di luar lingkungan pribadinya.

Faktanya di Indonesia masih sedikit pemahaman perihal situasi dari pelacur. Adanya stigma negatif dari masyarakat, juga pemerintah yang membikin pelacur malu dan merasa tertekan. Adanya pandangan bahwa perempuan bisa mencari profesi yang lebih sesuai ketimbang semestinya menjadi pelacur. Ini yang senantiasa menjadi pro kontra.

Dikala masyarakat atau negara mengatakan hal yang demikian, tak ada satupun solusi yang kapabel mengatasi situasi sulit hal yang demikian. Malah mereka dipaksa semisal menjadi buruh atau pekerja pabrik yang notabene pendapatannya benar-benar rendah daripada ketika mereka menjadi pelacur.

Hasilnya banyak dari mereka kembali untuk mengerjakan hal yang sama. Pada alhasil, Negara cuma cenderung kepada penyelesaian menghapus eksistensi pelacur atau praktik prostitusi, ketimbang memberikan solusi yang pas.

Sebaiknya masyarakat dan negara memahami bahwa perempuan yang memilih menjadi pelacur, tanpa ada oknum di belakangnya, menampakkan tak adanya paksaan kepada diri sendiri. Betapa lebih bagus memberikan kesempatan menjadi pelacur ketimbang semestinya mengerjakan yang slot garansi bukan harapan individu hal yang demikian.

Tak cuma itu, banyaknya perilaku menghina serta diskriminasi masyarakat kepada pelacur membikin kian rendahnya adab bangsa dalam menjunjung kebebasan individu. Ini bisa kita lihat saat ada pelacur yang tinggal di suatu lingkungan masyarakat, karenanya akan banyak gunjingan malahan hinaan yang datang dari masyarakat setempat.

Indonesia sebaiknya bercermin dari Jerman. Sebagaimana diberitakan dari tirto .id yang mengatakan bahwa pada tahun 2001, parlemen Jerman atau Bundestag yang dibatasi oleh Partai Sosial Demokrat mengeluarkan Undang-Undang Prostitusi. Tujuannya ialah mengkoreksi situasi PSK. Menurut undang-undang itu, PSK bisa menuntut kepantasan bayaran serta berkontribusi pada program asuransi kesehatan, hingga dana pensiun. Simpelnya, Jerman mau membikin perempuan PSK sepadan dengan pekerjaan lainnya. Alih-alih dikucilkan, Jerman hendak mengajak masyarakat untuk mendapatkan praktik prostitusi.

Malah di Asia sendiri, sudah banyak negara yang memberlakukan prostitusi dan mengakui eksistensi pelacur. Seperti Jepang, Kamboja, dan Thailand. Dengan memberikan izin pendirian daerah prostitusi serta adanya perlindungan aturan bagi para pelacur.

Lagi-lagi kian terang bahwa situasi sulit eksistensi status pelacur semata cuma sebuah pengakuan. Dikala aturan agama mengakui relasi seks yang dijalankan oleh pasangan suami dan istri dikarenakan paralel dengan regulasi yang ada. Ini lah yang menjadi momok bahwa aturan agama tak dapat dihasilkan landasan yang konkret kepada status pelacur, sebab pada dasarnya Indonesia bukan negara agama, tetapi negara demokrasi yang memiliki undang-undang sebagai landasan dan mestinya menjunjung hak individu.

Ini lah yang semestinya menjadi renungan bagi negara dan masyarakat. Sebagai slot bet 200 negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan individu, telah sepantasnya kita belajar menempatkan pandangan kepada situasi sulit sosial yang ada. Di mana tak segala dapat dituntaskan dengan aturan dan hukum permanen yang berlaku.